
Kekhawatiran perang dagang AS - Indonesia muncul setelah kebijakan evaluasi insentif bebas tarif bea masuk untuk produk-produk tertentu (Generalized System of Preferences/GSP).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto mengatakan kedua negara menggunakan pendekatan dagang bersifat keunggulan komparatif (comparative advantage), dimana satu produk dari negara lain bisa lebih efisien dibandingkan produk milik negaranya.
Indonesia, misalnya, memiliki keunggulan efisiensi di produk tekstil sehingga ekspornya merangsek masuk ke Amerika Serikat.
Di sisi lain, Amerika Serikat juga memiliki keunggulan komparatif di komoditas pertanian, seperti gandum dan kedelai. Makanya, ia melihat peluang perang dagang kedua negara cukup tipis.
"Arahnya mungkin ke sana (tidak akan terjadi perang dagang) karena ekspor-impor kedua negara ini sifatnya komplementer, saling melengkapi," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/7).
Selain itu, perang dagang kemungkinan tidak akan terjadi karena Indonesia bukanlah mitra dagang terbesar AS, bahkan tidak masuk 15 besarnya. Menurut Biro Sensus AS, lima mitra dagang terbesar AS adalah China, Kanada, Meksiko, Jepang, dan Jerman, dimana defisit terbesar dicatat oleh China dengan nilai US$152,2 miliar dalam 5 bulan pertama tahun ini.
Kalau pun terjadi perang dagang, ia meyakini Indonesia tidak akan terkena dampak yang terlalu dalam. Sebab, neraca perdagangan Indonesia dengan AS antara Januari hingga Mei mengalami surplus US$3,56 miliar, sehingga harusnya masih ada peluang Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan.
Melihat hal itu, Indonesia bisa saja melakukan tindakan balasan kepada AS. Apalagi, komoditas ekspor AS ke Indonesia bisa disubstitusikan dengan komoditas yang sama dari negara lain.
"Makanya, kemungkinan Indonesia bisa membalas dan mensubstitusi produk itu dengan yang lain. Tapi tetap, saya tidak melihat hal itu akan terjadi," tutur Eko.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani mengatakan kajian GSP yang dilakukan AS tidak serta merta menjadi mimpi buruk bagi Indonesia.
Berdasarkan data GSP AS 2016, Indonesia hanya memperoleh manfaat GSP sebanyak US$1,8 miliar dari total ekspor Indonesia ke AS sebesar US$20 miliar.
"Sebagian besar produk ekspor unggulan Indonesia tidak memperoleh manfaat GSP. Sebaliknya, tidak semua produk yang diberikan manfaat GSP oleh AS untuk Indonesia diekspor oleh Indonesia ke AS," jelasnya.
Menurutnya, saat ini ada dua kajian yang dilakukan terkait GSP. Pertama, kajian terkait produk yang selama ini diberikan pemotongan bea masuk, dan kedua adalah kajian tahunannya.
Ia memastikan, kajian ini bukan untuk menakut-nakuti Indonesia. Shinta yakin GSP memang harus dilakukan demi hubungan bilateral yang baik antar kedua negara. Apalagi, kedua negara sebetulnya mendapat manfaat dari pelaksanaan GSP.
Ia menilai GSP AS untuk Indonesia memungkinkan pelaku usaha AS, khususnya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan konsumen di AS untuk memperoleh barang konsumsi dan masukan produksi dengan harga terjangkau.
"Kami juga menyakini bahwa GSP AS untuk Indonesia juga mengurangi ketergantungan AS terhadap impor dari negara lain melalui diversifikasi impor dan turut menjaga persaingan dagang yang sehat di AS," pungkasnya. (bir)
Baca dong https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180709135656-92-312689/ekonom-sebut-potensi-as-perang-dagang-dengan-ri-tipisBagikan Berita Ini
0 Response to "Ekonom Sebut Potensi AS Perang Dagang dengan RI Tipis"
Posting Komentar