Search

Di Blitar, obor Asian Games hangatkan kenangan soal Soekarno

Jakarta (ANTARA News) - Dalam perjalanannya untuk dinyalakan saat pembukaan Asian Games ke-18 tahun 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, api dari obor pesta olahraga Asia itu terlebih dahulu harus melewati 53 kabupaten-kota di Indonesia.

Tepatnya pada Jumat, 20 Juli 2018, api Asian Games yang menjadi bagian dari Kirab Obor Asian Games 2018 itu pun tiba di Blitar, Jawa Timur, dan dibawa ke Makam Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno oleh atlet tenis meja yang tampil di Olimpiade 1992 Ling Ling Agustin.

Ling Ling lalu menyerahkan api itu kepada Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) yang juga cucu dari Soekarno, Puan Maharani yang bediri tepat di depan pusaran kakeknya.

"Kita sudah tahu Blitar adalah tempat di mana Presiden pertama Indonesia Seokarno dimakamkan. Tentu ini menjadi tempat bersejarah," kata Ketua Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 (INASGOC) Erick Thohir, menjelaskan mengapa Blitar dipilih menjadi salah satu tempat yang disinggahi api obor Asian Games 2018.

Momen itu tentu seakan menjadi penghangat di tengah "dinginnya" tren kepedulian generasi muda terhadap sejarah bangsanya sendiri, khususnya sejarah Soekarno sebagai Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia..

Blitar memang identik dengan Presiden Soekarno karena selain dimakamkan di sana, keluarga Sang Proklamator sempat tinggal kota tersebut.

Sukarno sendiri lahir di Surabaya tanggal 6 Juni 1901. Ketika umurnya enam tahun, pria yang akrab disapa Bung Karno itu pindah bersama keluarganya ke Mojokerto, Jawa Timur.

Pada tahun 1916, Bung Karno merantau dari Mojokerto karena harus melanjutkan pendidikan ke Surabaya. Di sana, dia berdiam di rumah pemimpin organisasi pergerakan nasional terbesar ketika itu Sarekat Islam (SI), Haji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto.

Setahun setelah Soekarno berangkat ke Surabaya, ayahnya Soekemi Sosrodihardjo yang berprofesi sebagai seorang guru dipindahkan ke Blitar untuk naik jabatan. Dia lalu membawa serta istri Ida Ayu Nyoman Rai dan keluarganya ke tempatnya yang baru. Di Blitarlah mereka menghabiskan masa tua.

Sejak itulah Blitar menjadi penting bagi Bung Karno. Kalau perlu restu atau rindu dengan orang tuanya, Soekarno hampir pasti melangkahkan kakinya ke sana. Dalam hangat sapa dan pelukan ayah ibunya, dia menemukan ketenangan dari tekanan-tekanan perjuangan yang selalu dilahapnya setiap hari.

Dalam posisinya yang menanjak sebagai pemimpin perjuangan kemerdekaan bangsa, Soekarno yang semakin sibuk tidak pernah lupa mencari informasi mengenai perkembangan Kota Blitar. Salah satu sumbernya adalah pejuang-pejuang Indonesia yang bergerak di garis depan.

Bung Karno menceritakan kisah itu di dalam buku biografinya "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" (1965) yang ditulis oleh pewarta asal Amerika Serikat, Cindy Adams.

"Dalam suatu pertempuran, pasukan kami berkumpul di pekarangan belakang rumah ibu di Blitar. Kisah ini kemudian diceritakan oleh pejuang gerilya kepadaku. Di tempat ini keadaan gerakan kami tenang sekali. Kami semua tiarap menunggu. Rupanya ibu tidak mendengar apa-apa dari pihak kita. Tidak ada tembakan, tidak ada teriakan. Dengan mata yaang bernyala-nyala beliau keluar mendatangi kami, 'Kenapa tidak ada tembakan? Kenapa tidak bertempur? Apa kamu semua penakut?," tutur Soekarno dalam buku itu.

Dan, seperti kita ketahui bersama, Soekarno si Putra Sang Fajar yang kerap kembali ke Blitar itu pada akhirnya menjadi Presiden pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Banyak catatan penting dan prestasi yang ditorehkannya ketika menjabat sebagai orang nomor satu di Nusantara. Salah satu yang paling mencolok tentu saja penyelenggaraan Asian Games keempat tahun 1962 di Indonesia.

Tepatnya di Tokyo, Jepang, pada tahun 1958 atau baru 13 tahun merayakan kemerdekaan, Indonesia terpilih menjadi tuan rumah Asian Games keempat pada tahun 1962, mengalahkan calon lain yakni Karachi (Pakistan).

Setelah itu, Indonesia langsung berbenah. Presiden Soekarno membentuk panitia penyelenggara Asian Games bernama Dewan Asian Games Indonesia (DAGI) dan Komando Urusan Pembangunan Asian Games (KUPAG) untuk menyelesaikan pembangunan infrastruktur.

Mereka bekerja berdasarkan keinginan Bung Karno bahwa Indonesia mesti memiliki kompleks olahraga terpadu dengan sebuah stadion sepak bola besar yang seterusnya bisa menjadi kebanggaan rakyat.

Maka dari itu, dimulailah proyek pembangunan stadion utama dengan pemancangan tiang pertama oleh Bung Karno pada 8 Februari 1960. Ini sekaligus menandakan dimulainya pembangunan seluruh kompleks Asian Games 1962.

Bung Karno sendiri terlibat dalam urusan teknis maupun non-teknis proyek raksasa tersebut. Dia tidak hentinya memantau perkembangan pembangunan gedung-gedung hingga semuanya selesai tepat waktu.

Stadion utama, yang selanjutnya dinamakan Stadion Utama Gelora Bung Karno, diresmikan pada 21 Juli 1962 atau sekitar sebulan sebelum Asian Games 1962 dibuka secara resmi pada 24 Agustus 1962.

Dikutip dari buku "Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno" (2004) yang ditulis Julius Pour, Bung Karno berapi-api ketika berpidato dalam peresmian stadion yang ketika itu berkapasitas hingga 120.000 penonton tersebut.

"Ini merupakan stadion terhebat di seluruh dunia, milik bangsa Indonesia. Saya sudah berkeliling dunia, sudah melihat stadion di Rio de Janeiro, sudah melihat stadion di Warsawa, sudah melihat stadion di Meksiko, sudah melihat stadion di negeri-negeri lain,.... wah, Stadion Utama Jakarta adalah stadion terhebat di seluruh dunia," kata Bung Karno.

Menurut Proklamator yang lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya itu, konstruksi atap dengan model temu gelang menjadi pembeda stadion utama di Jakarta dengan stadion-stadion lain di dunia.

Berdirinya stadion utama seakan menjadi simbol bahwa Indonesia, meski baru belasan tahun merdeka, bisa mempersiapkan turnamen besar sekelas Asian Games. Stadion utama itu pun menunjukkan Indonesia ternyata dapat membangun sebuah kompleks olahraga terpadu yang di masa itu disebut-sebut pertama di dunia.

Sebelum stadion utama selesai, Indonesia sudah bisa menuntaskan proyek arena olahraga seperti istana olahraga (istora) dan stadion tenis "indoor" pada 1961, lalu stadion atletik, gedung-gedung olahraga, lapangan bola voli, lapangan tenis terbuka dan perkampungan atlet sudah bisa digunakan pada pertengahan tahun 1962.

Bahkan, pemerintah ketika itu membangun sebuah gedung khusus untuk pewarta yang meliput Asian Games 1962 bernama Wisma Warta, tepatnya di Jalan M. H. Thamrin dekat Hotel Indonesia. Sayangnya kini wisma itu sudah dirobohkan dan diganti dengan hotel serta tempat perbelanjaan.

Ada pula lagi pembuatan sarana penunjang seperti jalan raya, pemasangan pipa-pipa air, listrik dan lain-lain. Demi Asian Games, Indonesia juga mendirikan stasiun televisi pertamanya yakni Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang mengudara pertama kali pada 24 Agustus 1962 untuk menyiarkan pembukaan Asian Games keempat langsung dari Stadion Utama Gelora Bung Karno.

Kemudian, tentu saja, mempersiapkan ratusan atlet Indonesia di bawah pengawasan ratusan pelatih baik dari Indonesia maupun luar negeri untuk bertanding di Asian Games 1962.

Hasilnya, Asian Games keempat pada tahun 1962 berjalan mulus. Seluruh atlet, ofisial dan tamu dari luar negeri dapat dilayani dengan sangat baik. Pertandingan-pertandingan berjalan lancar di arena-arena anyar hasil karya anak-anak bangsa.

Dari sisi prestasi, Indonesia juga mencatatkan pencapaian membanggakan. Kontingen Merah Putih berhasil merebut 21 medali emas, 26 perak dan 30 perunggu untuk menjadi negara kedua terbaik di Asian Games 1962.

Apa yang diraih ketika itu belum bisa diulangi sampai sekarang. Meski demikian, hal itu menjadi motivasi bagi pemerintah Indonesia untuk kedua kalinya dipilih kembali menyelenggarakan Asian Games, yaitu Asian Games ke-18 pada tahun 2018.

Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia ingin setidaknya menyamai prestasi negara pada gelaran Asian Games 1962, baik penyelenggaraan maupun prestasi.

Sejak terpilih menjadi tuan rumah Asian Games ke-18 pada tahun 2014, Indonesia sudah melakukan banyak persiapan mulai dari renovasi arena, pembangunan wisma atlet hingga mempersiapkan para atlet.

INASGOC yang menjadi ujung tombak penyelenggaraan pun memilih tugas berat yakni bagaimana mewujudkan sukses penyelenggaraan, sukses prestasi, sukses ekonomi dan sukses administrasi di Asian Games 2018 yang secara resmi dibuka pada 18 Agustus 2018.

Singgahnya api obor Asian Games ke Blitar bisa mengembalikan memori semua pihak tentang peran Sukarno dan seluruh elemen masyarakat Indonesia saat Asian Games 1962.

Salah satu yang bisa direnungkan adalah pesan Bung Karno yang mengatakan, selain meningkatkan kondisi fisik serta memupuk persahabatan dan persaudaraan dengan bangsa-bangsa di dunia, ada hal penting lain yang harus dicapai dengan digelarnya Asian Games di Indonesia.

Sukarno, masih dikutip dari buku "Dari Gelora Bung Karno ke Glora Bung Karno", menyampaikan begini. "...didirikannya stadon dengan semua venues daripada Asian Games ini, ya stadion utamanya, ya tempat tenisnya, ya tempat renangnya, ya tempat baseball-nya, ya tempat 'covered sporthall'-nya, bukan hanya untuk membuat badan kita ini kuat sesuai dengan semboyan 'mens sana in corpore sano' - jiwa sehat ada di dalam tubuh kuat, bukan hanya untuk bisa memupuk persahabatan dan persaudaraan di antara bangsa-bangsa, tetapi juga untuk memperkuat rasa kebangsaan kita".

Pewarta: Michael Teguh Adiputra S
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2018

Let's block ads! (Why?)

Baca dong https://www.antaranews.com/berita/730042/di-blitar-obor-asian-games-hangatkan-kenangan-soal-soekarno

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Di Blitar, obor Asian Games hangatkan kenangan soal Soekarno"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.