REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Media Korea Utara (Korut) menyebut senjata nuklir negara mereka sebagai sebuah 'pedang keadilan yang sangat berharga'. Pyongyang bahkan telah merilis perangko dan monumen peringatan untuk menghormati uji coba rudal balistik, serta menobatkan ilmuwan nuklir sebagai pahlawan nasional.
Bagi Kim Jong-un, melepaskan sepenuhnya program senjata nuklir akan menjadi keputusan dramatis sebagai seorang pemimpin otoriter. Ia tidak hanya mempertaruhkan keamanan negaranya, tetapi juga telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menjadikan senjata tersebut sebagai bagian integral dari legitimasi dan kekuasaan rezimnya.
Utusan Korea Selatan (Korsel) yang bertemu Kim di Pyongyang awal bulan ini mengatakan Kim telah berkomitmen untuk melakukan denuklirisasi. Kim juga menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan Presiden AS Donald Trump sesegera mungkin.
Para pejabat Cina yang bertemu dengan Kim di Beijing pekan ini juga mengatakan hal yang sama terkait komitmennya terhadap denuklirisasi. Namun hingga saat ini belum ada laporan dari media pemerintah Korut yang membahas mengenai masalah denuklirisasi tersebut.
Tanpa adanya konfirmasi publik dari Pyongyang, sejumlah pengamat merasa skeptis jika Kim tiba-tiba mau melepaskan senjata nuklirnya. Terlebih dia dan keluarganya telah menghabiskan waktu untuk mengembangkan senjata itu selama puluhan tahun.
"Kim Jong-un tidak perlu mengumumkan apa pun kepada penduduk Korut, terutama karena denuklirisasi adalah proses yang akan memakan waktu setidaknya 10 tahun untuk bisa dicapai secara realistis," kata Michael Madden, seorang pakar kepemimpinan Korut di Johns Hopkins University.
Kim Hyung-suk, yang menjabat sebagai Wakil Menteri Unifikasi Korsel 2016-2017, mengatakan upaya denuklirisasi akan sulit dilakukan, tetapi tidak mustahil. Jika AS membuat konsesi besar, Kim Jong-un dapat memberikan penjelasan berbeda untuk rakyatnya.
"Kim Jong-un akan berusaha menyebarkan isu bahwa dia telah membuat AS dan komunitas internasional menyerah karena Korut menguasai senjata nuklir. Jika perundingan berjalan lancar, sanksi akan berkurang dan ekonomi akan tumbuh. Kemudian orang-orang akan memahami keputusan denuklirisasi Kim dan akan sangat mendukungnya," ujar Kim Hyung-suk.
Meski demikian, rencana itu mungkin bukan rencana yang telah dipikirkan Trump. Kim dan Trump rencananya akan melakukan pertemuan puncak pada Mei mendatang, yang akan menjadi pertemuan bersejarah antara kedua negara.
Penasihat Keamanan Nasional Trump yang baru, John Bolton, menegaskan pertemuan yang dilakukan Trump dengan Kim akan difokuskan pada bagaimana Korut dapat melepaskan program senjata nuklirnya secepat mungkin. Di sisi lain, Kim tetap akan melangkah hati-hati untuk memastikan setiap perundingan mengenai program senjata nuklirnya, tidak akan merusak legitimasinya di dalam negeri.
Untuk mencoba menyeimbangkan faksi dalam pemerintahannya, Kim Jong-un menganut kebijakan "byungjin," atau pengembangan militer dan ekonomi secara bersamaan, setelah ia berkuasa pada 2011. Sejak 2013, faksi pro-militer telah sangat berpengaruh di dalam pemerintahan Korut. Sejumlah otoritas militer dan elit senior lainnya mungkin akan sulit menerima pilihan denuklirisasi.
"Bagi mereka, sulit untuk memastikan keamanan rezim hanya dengan kekuatan konvensional saja, sehingga mereka dapat menolak keputusan Kim dan terus berdebat untuk menjaga program senjata nuklir," kata Kim Hyung-suk.
Baca dong http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/asia/18/03/28/p6alb9382-niat-kim-jongun-hentikan-program-senjata-nuklir-diragukanBagikan Berita Ini
0 Response to "Niat Kim Jong-un Hentikan Program Senjata Nuklir Diragukan"
Posting Komentar