
Merdeka.com - Amerika Serikat pekan lalu menuding pemerintah Suriah dalang di balik serangan senjata kimia teranyar di Ghouta Timur, dekat Ibu Kota Damaskus pada 1 Februari lalu.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Heather Nauert dua hari kemudian mengatakan laporan mengenai serangan gas klorin terhadap warga sipil di Ghouta Timur 'sangat memprihatinkan'.
Ghouta Timur hingga saat ini masih menjadi wilayah terakhir dikuasai pemberontak Suriah di dekat Damaskus. Daerah itu dikepung tentara pemerintah sejak 2013. Diyakini masih ada sekitar 400 ribu warga tinggal di kawasan tersebut.
Serangan senjata kimia itu dikatakan menyebabkan 21 orang mengalami gangguan pernapasan.
Sabtu lalu pemerintah Suriah menyangkal tudingan AS itu dengan mengatakan tuduhan itu hanya berdasarkan 'kebohongan' dan tanpa bukti.
"Kementerian Luar Negeri (Suriah) mengecam klaim keliru dari AS yang menyebut pemerintah Suriah memakai senjata kimia di Ghouta Timur," kata sumber kementerian seperti dikutip kantor berita Suriah, SANA, dan dilansir laman Arab News, pekan lalu.
"Semua cerita bohong ini berasal dari apa yang disebut 'rekan Amerika' di lapangan," kata pernyataan kementerian.
Peristiwa serangan senjata kimia di Ghouta Timur kali ini kian memperpanjang pro kontra tentang siapa pelaku sebenarnya.
Suriah selalu menyangkal tuduhan serupa sebelumnya dengan mengatakan, pada 2013 mereka sudah menyerahkan semua simpanan senjata kimia berdasarkan kesepakatan antara AS dan Rusia. Pada Agustus 2013 Damaskus dituding melancarkan serangan gas sarin ke Ghouta Timur.
Pada 2014 dan 2015 PBB juga menuduh pemerintah Suriah bertanggung jawab terhadap serangan gas klorin dan juga gas sarin pada 2017. Serangan gas sarin pada April 2017 di Khan Sheikun, Provinsi Idlib, membuat AS meluncurkan rudal ke pangkalan udara Suriah. Namun lagi-lagi semua tuduhan itu tidak didukung bukti-bukti kuat.
Tahun lalu pakar kontraterorisme dan pengamat keamanan asal Inggris Charles Shoebridge mengatakan kepada Russia Today, sesungguhnya kaum pemberontaklah yang mengambil keuntungan dari peristiwa ini.
"Pihak yang diuntungkan dari serangan semacam ini adalah kaum pemberontak itu sendiri karena mereka bisa mendapat kemajuan politik berarti di saat mereka tengah berjuang secara geopolitik dan strategis," kata Shoebridge, seperti dilansir Russia Today, Kamis (6/4/2017).
Sumber dari pejabat keamanan Suriah juga mengatakan hal senada. Tuduhan dunia internasional terhadap pemerintah Suriah yang menewaskan rakyat sipil di Idlib adalah salah.
"Ini adalah tuduhan yang salah," kata sumber itu kepada kantor berita AFP,"pasukan oposisi sedang berusaha mendapatkan perhatian media atas apa yang tidak bisa mereka raih di lapangan," kata dia, seperti dikutip laman Business Standar, Senin Selasa (4/4/2017).
Shoebridge menekankan, pemerintah Suriah tidak punya alasan untuk melancarkan serangan semacam itu karena mereka sudah meraih banyak kemenangan di berbagai lokasi.
Serangan semacam ini, kata dia, hanya akan menimbulkan kecaman dari masyarakat internasional dan tentu saja tidak akan menguntungkan bagi rezim Basyar al-Assad.
Kelompok dokter menamakan diri Dokter Swedia untuk Hak Asasi atau Swedish Doctors For Human Right (swedhr.org) juga tahun lalu menganalisis video korban serangan gas kimia di Khan Sheikun April tahun lalu.
Dikutip dari laman Veterans Today, para dokter menemukan video itu dibuat-buat alias palsu dan bahkan terdengar instruksi dalam bahasa Arab yang menyuruh anak-anak korban serangan gas itu posisinya diatur untuk keperluan rekaman video bukan untuk perawatan.
SWDHR bahkan jelas-jelas menyebut justru para dokter pegiat kemanusiaan White Helmets adalah pembunuh anak-anak di dalam video tersebut.
"Cara penanganan terhadap bocah itu sangat sembrono dan membahayakan sehingga bisa menyebabkan luka serius," kata SWDHR. [pan]
Baca dong https://www.merdeka.com/dunia/pro-kontra-klaim-serangan-senjata-kimia-di-suriah-siapa-pelaku-sebenarnya.htmlBagikan Berita Ini
0 Response to "Pro-kontra klaim serangan senjata kimia di Suriah, siapa pelaku sebenarnya?"
Posting Komentar